DPRD Kalsel Akan Undang Rektorat ULM Bahas Pembatalan 16 Guru Besar


SOEARAKALSEL.COM, BANJARMASIN – Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kalimantan Selatan, H Gusti Iskandar Sukma Alamsyah, menyatakan akan mengundang pihak rektorat Universitas Lambung Mangkurat (ULM) guna mengurai persoalan pembatalan jabatan 16 Guru Besar di lingkungan kampus tersebut. 

Langkah ini ditempuh agar permasalahan yang terjadi tidak berdampak terhadap akreditasi ULM sebagai perguruan tinggi negeri yang menjadi kebanggaan masyarakat Kalimantan Selatan, ungkap Iskandar.

Penegasan politisi Golkar Kalsel disampaikan dalam audiensi dari perwakilan Guru Besar yang dibatalkan dari ULM, dengan Komisi IV DPRD Kalsel yang digelar pada Senin (15/12/2025) siang. 

Dalam pertemuan itu, DPRD menegaskan komitmennya untuk turut mengawal penyelesaian persoalan secara proporsional dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Salah seorang Guru Besar yang jabatannya dibatalkan, Kissinger, menjelaskan bahwa sikap DPRD Kalsel menunjukkan pandangan bahwa kasus pembatalan Guru Besar ini tidak lagi dipandang sebagai persoalan internal Universitas Lambung Mangkurat semata, melainkan telah menjadi persoalan bersama masyarakat Kalimantan Selatan, yang didamping Laila Refiani Said, Darmiyati dan Abdul Gofur.

Menurutnya, ULM merupakan aset strategis daerah dan milik masyarakat Kalimantan Selatan. Oleh karena itu, setiap persoalan yang terjadi di dalamnya, khususnya yang berpotensi berdampak pada reputasi dan tata kelola perguruan tinggi, menjadi tanggung jawab bersama untuk dicarikan solusi terbaik.

“Kami melihat DPRD memiliki pandangan bahwa ULM adalah milik masyarakat Kalimantan Selatan. Apa yang terjadi di ULM tentu menjadi kepentingan bersama, sehingga penyelesaiannya juga harus dilakukan secara bersama-sama,” ujarnya.

Ia menyampaikan bahwa DPRD Kalsel menyatakan niat untuk membantu mengumpulkan serta menelusuri berbagai informasi yang diperlukan terkait pembatalan jabatan Guru Besar tersebut. 

Informasi ini nantinya diharapkan dapat menjadi bargaining position baik bagi para Guru Besar maupun anggota DPRD dalam mencari jalan keluar atas persoalan yang tengah dihadapi.

Bentuk penyelesaian yang dimungkinkan, lanjutnya, dapat ditempuh melalui berbagai jalur, baik melalui DPR RI, DPD RI, maupun melalui komunikasi dan koordinasi dengan kementerian terkait sesuai kewenangannya.

Terkait substansi persoalan, pihak Guru Besar menilai bahwa Surat Keputusan (SK) pencabutan jabatan Guru Besar yang diterbitkan memiliki persoalan dari sisi prosedural. Berdasarkan pendapat kuasa hukum serta berbagai pertimbangan yang telah dikaji, terdapat ketidaksesuaian dalam proses penentuan pelanggaran integritas yang dijadikan dasar pencabutan jabatan tersebut.

Dalam Permendikbud Nomor 39 Tahun 2021, secara tegas disebutkan bahwa penentuan pelanggaran integritas merupakan kewenangan perguruan tinggi. 

Namun, dalam proses yang terjadi pada kasus ini, penentuan pelanggaran integritas justru dilakukan langsung oleh inspektorat tanpa melibatkan perguruan tinggi secara langsung.

“Hal ini dinilai tidak sejalan dengan ketentuan yang telah diatur dalam Permendikbud tersebut,” tambahnya.

Pihak Guru Besar berharap agar SK pencabutan jabatan tersebut dapat ditinjau kembali. Menurut mereka, pencabutan jabatan Guru Besar bukanlah persoalan sederhana, melainkan harus melalui tahapan pembinaan serta prosedur administratif yang sesuai dengan koridor hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada prinsipnya, dalam seluruh aspek administrasi negara, termasuk pencabutan jabatan, pemberian sanksi, maupun pengambilan keputusan lainnya, seharusnya terdapat keterlibatan perguruan tinggi sebagai institusi akademik yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab terhadap sivitas akademikanya.

“Inilah yang sedang kami perjuangkan, agar seluruh proses penyelesaian dilakukan berdasarkan aturan yang benar dan telah ditetapkan,” jelasnya.

Ia kembali menegaskan bahwa inti dari aspirasi para Guru Besar adalah permintaan agar SK pencabutan jabatan tersebut ditinjau kembali. Kasus Guru Besar ULM dipandang sebagai persoalan Kalimantan Selatan secara keseluruhan, bukan semata-mata masalah internal kampus.

DPRD Kalsel pun menyatakan kesiapan untuk membantu mencari solusi serta mengumpulkan informasi sebagai dasar perjuangan bersama. SK pencabutan Guru Besar dinilai bermasalah secara prosedural, mengingat Permendikbud Nomor 39 Tahun 2021 menegaskan bahwa penentuan pelanggaran integritas merupakan kewenangan perguruan tinggi.

Dalam kasus ini, perguruan tinggi dinilai tidak dilibatkan secara langsung dalam proses penentuan tersebut. Oleh karena itu, diharapkan adanya peninjauan kembali terhadap SK pencabutan jabatan Guru Besar, dengan penyelesaian yang tetap berada dalam koridor hukum dan administrasi yang benar. (Ang)
Lebih baru Lebih lama